SEMARANG, iNewsJoglosemar.id – Menjelang peresmian nasional Koperasi Desa Merah Putih oleh Presiden Prabowo Subianto pada 19 Juli mendatang, sorotan tajam datang dari kalangan ekonom. Program yang telah menghasilkan 80.560 koperasi desa/kelurahan ini dinilai belum siap, rentan gagal, dan berpotensi membebani Dana Desa serta keuangan negara.
Menteri Koperasi dan UKM Budi Arie Setiadi menyampaikan, hingga Rabu (9/7/2025) pagi, telah terbentuk 80.560 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih melalui forum musyawarah desa-kelurahan khusus. Pernyataan itu disampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI di Senayan, Jakarta.
Menurut Budi, sebagian besar daerah sudah mencapai target 100 persen, meskipun masih ada provinsi seperti Papua, Banten, dan Sulawesi Tengah yang perlu didorong. Di Banten, pembentukan tidak dapat dilakukan sepenuhnya karena adanya desa adat seperti Suku Baduy.
Ia juga menjelaskan bahwa 77.120 koperasi dari jumlah yang terbentuk telah memiliki SK badan hukum. Puncak peluncuran program ini akan digelar pada 19 Juli 2025 di Desa Bentangan, Klaten, Jawa Tengah sebagai bagian dari perayaan Hari Koperasi Nasional ke-78. Presiden Prabowo dijadwalkan hadir langsung dalam peresmian itu.
Namun di tengah gencarnya persiapan peresmian, kritik serius datang dari Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky. Ia menilai, program ini tidak didasarkan pada kajian yang kuat dan dirancang secara tergesa-gesa.
“Koperasi Desa Merah Putih ini tidak direncanakan dengan baik. Tidak ada desain, tidak ada konsep yang disiapkan untuk mengatasi berbagai masalah. Bahkan, SOP-nya pun tidak jelas,” kata Awalil saat dimintai tanggapan, Selasa (9/7/2025).
Awalil juga menyoroti bahwa koperasi tersebut dibentuk dari atas (top-down), bukan dari bawah sesuai semangat koperasi. Padahal, semestinya koperasi lahir dari kesepakatan warga yang memiliki kebutuhan dan kepentingan bersama.
“Menurut tradisi koperasi, yang benar adalah dari bottom-up. Tapi ini dibentuk dari atas dan langsung dibebani usaha,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai skema bisnis koperasi ini—seperti menyalurkan pupuk, gas melon, apotek, dan gudang penyimpanan—memiliki risiko besar, namun tidak ada kajian risiko yang mendalam.
“Usaha-usaha itu pasti memiliki risiko. Tapi tidak ada analisis risiko. Ini membahayakan karena bisa berdampak langsung ke keuangan desa,” tegasnya.
Menurut Awalil, banyak pihak awalnya mengira koperasi ini akan mendapat suntikan dana besar dari APBN, hingga Rp5 miliar per unit. Namun kenyataannya, pendanaan mengandalkan Dana Desa yang sangat terbatas.
“Alokasi Dana Desa itu pun hanya mencukupi untuk fase pembentukan dan operasional awal. Kalau koperasi ini gagal, maka kerugiannya ditanggung Dana Desa. Ini sangat berisiko,” ungkapnya.
Wacana bahwa pembiayaan akan didukung bank Himbara juga dinilai tidak realistis. Koperasi baru tidak akan mendapat pembiayaan tanpa jaminan kuat dan rekam jejak usaha yang kredibel.
“Kalau koperasi ini gagal dan Dana Desa dipakai jaminan, maka akan memukul desa. Ini bisa jadi bom waktu fiskal,” tambah Awalil.
Ia bahkan menyebut bahwa Koperasi Merah Putih tidak bisa disebut koperasi dalam arti sebenarnya, melainkan lembaga usaha milik negara yang diberi label koperasi. Ia menyarankan agar pemerintah memperbaiki koperasi-koperasi yang sudah ada daripada membentuk yang baru tanpa fondasi kuat.
“Saya bahkan mengatakan bahwa produk Merah Putih itu bukan koperasi, tapi lembaga seperti BUMDes yang diberi judul koperasi,” kata Awalil.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait