Ia mengaku menandatangani kontrak dengan Kementerian Pertahanan Rusia karena ketidaktahuannya mengenai konsekuensi hukum yang ditimbulkan, termasuk kehilangan status sebagai WNI.
"Saya tidak berniat mengkhianati negara. Saya hanya tidak tahu, dan saya ingin pulang," demikian pengakuan Satria dalam wawancara daring yang dipublikasikan media Rusia.
Permintaan maafnya disampaikan sembari berharap ada jalan hukum atau langkah diplomatik yang memungkinkan dirinya kembali ke Tanah Air. Namun, jika benar kewarganegaraannya sudah dicabut, maka proses pemulangan Satria akan melibatkan pertimbangan hukum dan kebijakan yang tidak sederhana.
Kementerian Hukum dan HAM sendiri belum memberikan pernyataan resmi terkait status kewarganegaraan Satria. Namun, pengamat hukum internasional menilai, keterlibatan dalam militer asing tanpa izin negara bisa menjadi alasan kuat untuk kehilangan kewarganegaraan.
Terlepas dari itu, pemerintah Indonesia tetap menekankan pendekatan hukum dan prinsip keadilan dalam menangani kasus Satria Kumbara. Pemerintah juga diharapkan tetap mengedepankan asas perlindungan WNI selama proses hukum berlangsung.
Kasus ini sekaligus menjadi refleksi tentang pentingnya edukasi hukum bagi WNI yang bekerja atau tinggal di luar negeri, terutama terkait risiko hukum keterlibatan dalam konflik internasional. Pemerintah melalui perwakilan diplomatik diharapkan dapat memperkuat peringatan dan pengawasan terhadap potensi rekrutmen tentara bayaran.
Saat ini, Satria Kumbara masih berada di wilayah konflik dan berada di bawah pantauan KBRI Moskow. Belum ada kepastian kapan atau apakah ia dapat dipulangkan ke Indonesia.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait