Eduwisata Kopi
Wisatawan juga bisa mampir ke kafe Pucu’e Kendal setelah puas menjelajah. Di tempat ini, pengunjung bisa merasakan eduwisata kopi yang dikelola oleh Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), mulai dari proses menanam, memetik, mengolah, hingga menyeduh kopi. Pengalaman ini memberi nilai tambah karena wisatawan bisa belajar sekaligus menikmati hasil olahan kopi lokal.
“Curug Lawe Sicepit benar-benar satu paket lengkap. Selain indah dan alami, airnya segar sekali, sesuatu yang jarang saya temui di Semarang bawah. Di sini kita bisa healing, kembali ke alam, dan melupakan penat keseharian,” ujarnya.
Inisiatif ini juga memperkuat konsep ekowisata Desa Ngesrepbalong yang semakin berkembang. Dengan dukungan fasilitas trekking, birdwatching, dan eduwisata kopi, kawasan ini bisa menjadi destinasi alam edukatif untuk segala usia, termasuk anak-anak sekolah dasar.
Pasti Feeya akan berteriak kegirangan, menepuk-nepuk air yang dingin. Ia mungkin akan melompat dari satu batu ke batu lain, matanya berbinar melihat pelangi kecil yang terbentuk dari butir air.
"Ainya dingin banget!" begitu mungkin ia akan berseru. Kabut tipis yang menyapu wajah tentu membuatnya tertawa, seakan alam sedang mengajaknya bermain petak umpet.
Dalam perjalanan kembali, saya bertemu dengan Wahyudi, Ketua Pokdarwis Gunung Sari Kafe Pucu’e Kendal. Ia menyambut saya dengan senyum ramah, khas warga desa.
"Selamat datang di Ngesrepbalong," sapanya. "Semoga Curug Lawe Sicepit memberikan kesan yang mendalam."
Saya bertanya tentang bagaimana desa ini bisa bangkit menjadi destinasi wisata. Wahyudi kemudian menjelaskan dengan panjang lebar. “Dusun kami berada di lereng Gunung Ungaran, hutannya masih asri, udaranya sejuk, dan kami mencoba mengangkat potensi ini lewat wisata alam yang edukatif,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa Curug Lawe Sicepit menjadi ikon utama dengan aliran air deras meskipun di musim kemarau. “Air curug ini asli dari lereng Ungaran, selalu segar, dan ada cerita mitos batu besar di bawah air terjun yang tidak bisa basah. Konon, siapa yang membasuh muka dengan airnya akan tampak berseri-seri,” kata Wahyudi.
Selain curug, Pokdarwis juga menawarkan paket wisata edukasi kopi, mulai dari menanam, memetik, mengolah hingga menyeduh. “Kami ingin wisatawan bisa belajar jadi barista atau petani kopi dalam satu rangkaian pengalaman. Jadi bukan hanya jalan-jalan, tapi ada ilmu yang dibawa pulang,” ucapnya.
Wahyudi menuturkan, ekowisata di Curug Lawe Sicepit tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga sarana edukasi lingkungan bagi para pengunjung. Setiap wisatawan diajak untuk membuang sampah pada tempat yang telah disediakan, sebagai bentuk kebiasaan menjaga kebersihan alam.
“Bahkan saat kembali dari curug, kalau mampir ke Kafe Pucu’e Kendal dan membawa satu botol bekas air minum, bisa ditukar dengan satu gelas kopi khas Ngesrepbalong,” ujarnya sambil tersenyum.
“Mbak, Mas, nanti kalau balik ke atas mampir kafe dan sambil bawa botol bekas minuman bisa mendapatkan kopi gratis,” teriaknya pada wisatawan menggunakan megaphone.
Untuk pecinta alam, birdwatching menjadi daya tarik besar karena adanya burung Julang Emas. “Pengamatan burung ini bisa dilakukan sekitar Agustus sampai Desember, saat julang emas bersarang. Spotnya ada di beberapa titik khusus, dan kami siapkan pemandu untuk mendampingi,” terang Wahyudi.
Ia menyebut, minat wisatawan justru lebih besar datang dari mancanegara. “Wisatawan lokal masih sedikit, tapi dari luar negeri justru antusias. Terakhir kami kedatangan tamu dari Amerika, mereka datang hanya untuk memotret Julang Emas,” ujarnya.
Wahyudi menambahkan, harga paket birdwatching tertinggi Rp600 ribu untuk empat orang sudah termasuk pemandu. “Pemandu akan mengantar sampai ke titik lokasi pemotretan terbaik. Ini pengalaman langka, karena burung Julang Emas sangat sensitif dengan kehadiran manusia,” jelasnya.
Ia juga mengapresiasi peran Indonesia Power dalam mendukung pengembangan wisata desa. Berbagai fasilitas wisata juga terus ditingkatkan, seperti akses jalan, area parkir, tempat sampah, dan toilet. Namun, yang terpenting adalah kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian alam dan kearifan lokal.
“Dari pembibitan kopi, pasca-panen, sampai seduhan, kami didampingi lewat pelatihan dan bantuan alat. Untuk birdwatching, bahkan kami dibantu dengan peralatan hingga pelatihan bahasa Inggris agar lebih percaya diri melayani turis asing,” katanya.
“Berkat pelatihan itu, sekarang teman-teman Pokdarwis mulai bisa berkomunikasi langsung dengan wisatawan mancanegara. Meskipun masih sederhana, kami sudah tidak sepenuhnya bergantung pada translator. Kami punya 30 pemandu anggota Pokdarwis,” tandas Wahyudi.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait