DEMAK, iNewsJoglosemar.id – Mentari siang menyengat di langit Sayung, Kabupaten Demak. Di Desa Banjarsari, panas yang dulu dianggap musuh kini justru menjadi sumber kehidupan baru bagi warganya.
Desa kecil di pesisir utara Jawa ini dikenal dengan udara gerah dan angin laut yang kencang. Tapi siapa sangka, dua hal itu kini berubah menjadi energi yang memberi manfaat nyata.
Melalui program energi terbarukan, Pemerintah Desa Banjarsari mulai memanfaatkan potensi alam berupa panas dan angin untuk memenuhi kebutuhan listrik warganya.
Kepala Desa Banjarsari, Haryanto, mengatakan, ide besar itu lahir dari keprihatinan atas kondisi desa yang selama ini minim penerangan dan sering tertinggal dari desa lain.
“Kami pakai dana desa sebesarRp84 juta untuk energi terbarukan. Kami pasang tenaga surya hybrid agar bisa memberikan pencahayaan dari ujung desa ke ujung desa,” ujarnya penuh semangat, Senin (21/10/2025).
Desa Banjarsari terdiri atas sembilan dusun, yang masing-masing dipisahkan oleh hamparan tambak-tambak air asin. Letak geografisnya membuat sebagian wilayah sulit dijangkau jaringan listrik konvensional.
Selama bertahun-tahun, beberapa ruas jalan di desa itu gelap gulita setiap malam. Tak ada aliran listrik yang menjangkau hingga ke sudut-sudut kampung.
Kini, berkat panel surya hybrid dan kincir angin kecil yang dipasang di tepi makam desa, jalan yang dulunya sunyi dan gelap berubah menjadi terang benderang. Jalan itu menghubungkan Dusun Brangsong dan Dombo yang kerap terendam banjir saat tambak meluap atau hujan deras.
“Dulu, kalau malam itu ngeri, Mas. Tapi sekarang terang, orang pulang kerja juga merasa aman,” tutur Mustofa, warga Desa Wonowoso Kecamatan Karangtengah.
Mustofa bukan penduduk asli Dombo, namun ia kerap berkunjung ke rumah saudaranya di Banjarsari. Jalur yang kini diterangi lampu itu menjadi akses utama warga menuju Demak maupun Semarang.
“Kalau lewat jalur lain itu muter jauh, Mas. Lewat sini lebih cepat. Dulu gelap sekali, sekarang sudah ada lampu-lampu di sepanjang jalan,” ujarnya.
Ia mengaku penerangan ini membawa perubahan besar bagi warga sekitar. Namun, kehidupan di pesisir tak pernah benar-benar mudah. Ketika musim hujan tiba, jalan desa yang sempit dan diapit tambak menjadi momok menakutkan bagi pengendara.
“Kalau hujan lebat, jalan ini licin dan becek, kanan kirinya tambak. Kadang air meluap,” ujar Mustofa sambil menunjuk jalan setapak yang sebagian mulai tergerus air.
Kondisi itu makin berbahaya karena jembatan kayu yang menghubungkan Dusun Dombo dan Brangsong sudah rusak parah. “Banyak kayu yang lepas, Mas. Lubangnya kelihatan sampai ke bawah, arus sungai deras banget. Kalau malam itu serem,” ucapnya.
Saat hujan deras, Mustofa dan istrinya kerap berteduh di rumah warga yang berada di ujung desa, sekitar dua puluh meter dari jembatan. “Kalau hujan besar, kami nunggu reda dulu di rumah orang. Takut jatuh kalau maksa lewat,” tuturnya lirih.
Kondisi geografis seperti itu membuat energi listrik mandiri menjadi kebutuhan mendesak. Panel surya dan turbin angin menjadi solusi cerdas sekaligus simbol kemandirian.
“Wilayah kami dekat pantai. Panasnya luar biasa. Beberapa hari ini suhu mencapai 34–36 derajat Celsius, meski kadang turun hujan. Anginnya juga sangat kencang. Jadi kami manfaatkan dua sumber energi ini—surya dan angin,” jelas Haryanto.
Program ini ternyata menarik perhatian perhatian Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Pada tahun 2024, tim dari Jakarta datang langsung ke Banjarsari untuk meninjau proyek tersebut.
“Waktu itu mereka bilang ini menarik, karena ini desa pertama yang memakai dana desa untuk energi terbarukan, bukan infrastruktur biasa seperti jalan atau saluran air,” katanya bangga.
Kementerian bahkan menilai proyek ini sebagai model percontohan nasional, yang kabarnya akan direplikasi ke beberapa kawasan transmigrasi di Indonesia.
Desa Banjarsari termasuk desa miskin, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kecamatan Sayung tahun 2023 hanya 69,47, lebih rendah dari rata-rata IPM Kabupaten Demak yang mencapai 71,12.
Pendapatan warga sebagian besar bergantung pada tambak bandeng, udang, dan pertanian, serta usaha kecil seperti warung, perajin anyaman, dan industri rumahan. Karena itu, munculnya program energi baru terbarukan ini bukan hanya soal listrik, tapi juga soal harapan dan kebanggaan warga pesisir.
Menurut Haryanto, manfaat panel surya sudah mulai dirasakan oleh pelaku UMKM di desanya. Salah satunya adalah Muhammad Kanif, pemilik usaha Mi Lidi Miera, yang kini memproduksi mi kering dengan bantuan energi surya.
“Kami pakai panel surya untuk proses produksi. Jadi meskipun listrik PLN mati, oven masih bisa jalan,” kata Kanif.
Dalam industri rumahan itu, panel surya menjadi penyelamat saat cuaca tak menentu dan pasokan listrik terganggu.
“Apalagi waktu hujan atau mati lampu. Dengan panel surya, oven tetap nyala dan produksi jalan terus,” ujarnya.
Kanif memproduksi mi lidi dalam skala kecil-menengah dengan bahan baku tepung sekitar 100 kilogram per hari. Pemasarannya sudah menjangkau berbagai kota di Jawa Tengah seperti Semarang, Kudus, Jepara, hingga Solo.
“Keuntungannya bisa sampai Rp10 juta per bulan, tergantung pesanan. Kalau Ramadan, bisa menambah karyawan lagi sampai empat orang,” tuturnya.
Air Laut Siap Minum
Selain di sektor UMKM, Desa Banjarsari juga tengah mengembangkan program desalinasi air laut menjadi air siap minum. Desalinasi ini memanfaatkan air baku dari embung desa yang rasanya asin karena pengaruh intrusi air laut.
“Air asin itu disaring melalui sistem desalinasi, dan hasilnya bisa diminum. Ini program dari Pak Gubernur Jawa Tengah,” katanya.
Menurutnya, program ini sangat membantu mengatasi krisis air bersih yang selama ini menjadi masalah utama warga pesisir.
“Harapannya, nanti air hasil desalinasi juga bisa dimanfaatkan untuk pertanian hidroponik,” ujarnya.
Dalam waktu dekat, Pemerintah Desa berencana mengombinasikan teknologi desalinasi dengan energi surya agar sepenuhnya mandiri dan berkelanjutan, sekaligus menekan biaya listrik.
“Insyaallah akhir tahun 2025 nanti sistem panel surya juga akan dipasang untuk mendukung unit desalinasi,” tambah Haryanto.
Satria Pinandita, dosen Teknik Elektro Universitas Semarang (USM), sejak 2022 meneliti teknologi PLTS-PLTB hybrid — sistem pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga bayu. Ia percaya, potensi panas dan angin di pesisir utara Jawa bisa diolah untuk menjawab krisis listrik yang kerap melanda desa-desa nelayan.
“Prinsipnya sederhana, kita memanfaatkan apa yang ada di sekitar. Matahari dan angin di pesisir ini tidak pernah absen,” ujar Satria saat ditemui di laboratorium energi terbarukan Universitas Semarang.
Penelitiannya dimulai dari Desa Tambakharjo, Semarang, dua tahun lalu. Di sana ia membangun sistem hybrid untuk melistriki pujasera energi yang dikelola warga. Dari proyek kecil itu, lahirlah gagasan besar: energi mandiri untuk desa pesisir.
Tahun berikutnya, 2023, Satria membawa inovasi serupa ke Desa Banjarsari, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Desa yang dikelilingi tambak dan berjarak kurang dari dua kilometer dari laut itu selama bertahun-tahun hidup dalam kegelapan saat malam tiba.
“Di Banjarsari, kami kenal dengan perangkat desanya dan gayung bersambut. Mereka sepakat untuk membangun pembangkit hybrid dengan kapasitas sekitar tiga kilowatt-hour untuk penerangan jalan desa,” jelasnya.
Pembangkit itu memanfaatkan panel surya 1.200 watt dan turbin angin 500 watt. Listrik yang dihasilkan disimpan dalam baterai 3.600 watt untuk menyalakan 17 titik lampu di sepanjang jalan tambak sejauh satu kilometer.
Saat senja tiba, lampu-lampu otomatis menyala berkat sensor cahaya, menerangi jalan berlumpur yang sebelumnya gelap gulita. Menjelang subuh, lampu-lampu itu padam kembali. Sederhana, tapi mengubah kehidupan warga.
“Ini sistem off-grid, tidak terhubung PLN. Jadi sekalipun listrik mati, desa tetap terang,” ujar Satria.
Ia menjelaskan, kincir angin di sistem hybrid bekerja saat cuaca mendung atau malam berangin. Angin yang menabrak baling-baling akan memutar generator dan mengisi baterai. Saat siang hari, sinar matahari mengambil alih, memberi pasokan listrik dari panel surya. Dua sumber energi ini saling melengkapi — itulah mengapa disebut hybrid.
Meski sederhana, hasilnya luar biasa. Berdasarkan hasil perhitungannya, sistem ini mampu beroperasi hingga 20 tahun dan menghasilkan energi total 12,9 megawatt-jam, setara penghematan biaya listrik sebesar Rp17 juta dibanding jaringan PLN.
Teknologi ini, kata Satria, bukan sekadar solusi teknis, tapi juga simbol kemandirian desa. “Selama ini banyak daerah pesisir tergantung pada bantuan pemerintah atau PLN. Padahal, dengan sedikit inovasi, mereka bisa mandiri,” ujarnya.
Replikasi di Daerah Transmigrasi
Satria juga mengatakan, kini dia dan tim Universitas Semarang dipercaya menyusun buku petunjuk teknis nasional untuk instalasi energi hybrid off-grid. Tahun depan, program itu akan diterapkan di 14 kawasan transmigrasi dari Sabang hingga Merauke.
“Desa Banjarsari jadi model pertama. Tahun 2026 nanti, kami bantu replikasi di beberapa daerah seperti Banyuasin, Sumba Timur, Mesuji, hingga Merauke,” jelasnya.
Konsepnya tetap sama: membangun rumah produksi mandiri energi untuk produk unggulan lokal. Misalnya di Sumba Timur, sistem hybrid akan menggerakkan mesin pengupas kemiri, hingga alat pres minyak — semua bertenaga surya dan angin.
“Di daerah-daerah itu, listrik PLN hanya satu phase, cukup untuk rumah dan masjid. Tapi untuk produksi, butuh tiga phase. Nah, hybrid ini bisa jadi jawabannya,” terang Satria.
Ia menambahkan, kecepatan angin di pesisir Indonesia timur rata-rata mencapai 7 meter per detik, jauh di atas syarat minimal 6 meter per detik untuk turbin kecil. Itu sebabnya, Indonesia sebenarnya kaya potensi angin, hanya belum banyak dimanfaatkan.
“Kalau di Jawa panasnya melimpah, di timur anginnya lebih stabil. Dua-duanya sumber energi bersih yang bisa kita padukan,” ujarnya.
Di balik semua itu, Satria tetap rendah hati. Ia menyebut keberhasilan ini hasil kolaborasi antara akademisi, pemerintah desa, dan semangat warga yang mau belajar. “Kita hanya membantu membuka jalan. Yang menghidupkan energi itu sebenarnya masyarakatnya sendiri,” katanya tersenyum.
Kini, di pesisir Demak, kincir angin kecil terus berputar di bawah matahari sore. Lampu-lampu di jalan tambak menyala, memantul di permukaan air asin. Sebuah bukti nyata bahwa panas dan angin — dua hal yang dulu dianggap beban — bisa berubah menjadi berkah, jika disentuh oleh ilmu pengetahuan dan niat baik.
Langkah-langkah kecil yang dilakukan Desa Banjarsari kini menjadi contoh inspiratif bagi banyak desa pesisir lain di Demak yang juga menghadapi tantangan serupa. Dari panas dan angin yang dulu dianggap musibah, kini lahirlah sumber energi baru—energi yang menyala dari semangat warga untuk mandiri, berdaya, dan tak lagi takut gelap.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait
