Lompatan Energi Baru
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM dan dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menetapkan bahwa bauran energi dari sumber terbarukan (EBT) ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025.
Dalam kerangka kebijakan biofuel nasional, produk seperti Pertamax Green termasuk bagian dari roadmap bioetanol yang dikeluarkan pemerintah dan badan usaha energi, yang bertujuan mengintegrasikan campuran etanol ke dalam BBM reguler untuk memperkuat transisi energi.
Pakar ekonomi Universitas Diponegoro, Dr. Jaka Aminata, menilai kehadiran Pertamax Green menjadi tonggak penting dalam perjalanan transisi energi Indonesia. Menurutnya, meskipun baru mengandung 5 persen bioetanol (E5), bahan bakar ini sudah membawa perubahan terhadap pengurangan emisi transportasi darat dan ketahanan energi nasional.
“Pertamax Green menggantikan sebagian bensin fosil dengan bioetanol berbasis tetes tebu yang berasal dari biomassa. Artinya, karbon yang dilepaskan saat pembakaran telah diimbangi dengan penyerapan CO₂ oleh tebu ketika tumbuh,” ujarnya.
Dengan prinsip life cycle assessment, Pertamax Green sudah menurunkan intensitas emisi gas buang tanpa menunggu elektrifikasi kendaraan secara penuh. Dari sisi ketahanan energi, Jaka menegaskan bahwa penggunaan etanol dari bahan baku lokal merupakan strategi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak mentah dan BBM.
Indonesia selama ini masih defisit di neraca migas akibat tingginya impor bensin untuk sektor transportasi. “Setiap liter Pertamax Green berarti sedikit penghematan devisa, karena sebagian energi kendaraan diganti oleh bahan bakar domestik dari hasil tebu lokal, bukan dari impor,” katanya.
Selain itu, Pertamina bekerja sama dengan BUMN perkebunan untuk memasok bioetanol fuel grade, sehingga rantai pasok energi kini tersambung dengan sektor pertanian. “Ini bukan sekadar produk hijau, tapi juga kebijakan industri yang memperkuat ekonomi lokal dan ketahanan energi nasional,” tegasnya.
Secara makroekonomi, dampak Pertamax Green mulai terlihat dalam dua aspek: efisiensi energi dan pengurangan tekanan subsidi BBM. Dengan angka oktan tinggi (RON 95), Pertamax Green memberikan pembakaran lebih sempurna, sehingga konsumsi BBM per kilometer bisa lebih irit.
Di sisi fiskal, jika masyarakat beralih dari BBM bersubsidi seperti Pertalite ke BBM non-subsidi ramah lingkungan, maka beban subsidi negara bisa ditekan. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa skala distribusi Pertamax Green masih kecil, sehingga dampaknya baru terasa secara gradual — bukan revolusioner.
“Selama ini subsidi BBM menjadi tekanan besar APBN. Pertamax Green menawarkan jalan tengah: tetap non-subsidi tapi lebih ramah lingkungan,” jelas Jaka.
Jaka menambahkan, tantangan terbesar adalah perilaku konsumen. Harga Pertamax Green saat ini sekitar Rp13.000 per liter, sedikit lebih mahal dari Pertamax (Rp12.200) dan jauh di atas Pertalite (Rp10.000).
“Untuk pengguna kendaraan menengah-atas, selisih Rp800 tidak signifikan. Tapi bagi pengguna motor harian, selisih Rp3.000 bisa terasa berat,” paparnya.
Karena itu, transisi besar-besaran ke BBM hijau perlu dilakukan bertahap: dimulai dari segmen menengah-atas, sambil memperkuat kapasitas produksi bioetanol agar harga bisa ditekan. “Pertamax Green ini bukan tujuan akhir, melainkan batu loncatan. Indonesia sedang belajar memproduksi dan memakai biofuel sendiri sebelum beralih penuh ke kendaraan listrik,” tutupnya..
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait
