SEMARANG, iNewsJoglosemar.id - Kabut tipis masih menggantung di permukaan air Rawa Pening ketika saya tiba di Desa Kebondowo, Banyubiru, Kabupaten Semarang. Udara pagi itu dingin, membawa aroma khas rawa yang bercampur lumpur dan rumput basah.
Dari kejauhan, gunung Telomoyo berdiri gagah, seolah menjadi penjaga atas hamparan air yang luas dan tenang. Dari tepi desa, saya melihat 15 mahasiswa Universitas Ngudi Waluyo (UNW) bersiap di halaman kantor desa lama yang kini menjadi posko mereka.
Posko itu sederhana, catnya mulai pudar dan kusam dimakan waktu. Namun, dari sana, semangat muda memancar kuat. Mereka inilah tim Program Penguatan Kapasitas Organisasi Mahasiswa (PPK Ormawa) Bhumijala, penggerak inovasi padi terapung atau Agrofloat di tengah Rawa Pening.
“Setiap pagi kami mulai dari sini,” kata Zulfa Alya Fadhila, ketua tim PPK Ormawa Bhumijala, Minggu 2 November 2025.
Mahasiswi Program Studi Kesehatan Masyarakat angkatan 2022 itu tampak memegang catatan lapangan dengan jemari yang masih dingin. “Kami tinggal di posko ini selama lebih dari satu bulan, penuh. Pertengahan Juli sampai Agustus kami enggak pulang sama sekali.”
Mereka bukan mahasiswa pertanian, melainkan dari jurusan kesehatan dan ilmu keolahragaan. Tapi justru itulah yang membuat langkah mereka menarik, berangkat dari bidang yang berbeda untuk menjawab persoalan pangan yang melanda masyarakat pesisir rawa.
Motor mereka berderet di depan posko. Setelah doa singkat, mesin dinyalakan hampir bersamaan, deru knalpot memecah keheningan pagi. Tujuan mereka demplot (Demonstration Plot) padi terapung di tengah Rawa Pening.
Jarak posko ke tanggul hanya sekitar lima menit berkendara. Jalan yang mereka lalui sudah mulus, namun banyak berkelok, dan tikungan tajam. Begitu sampai di tanggul, motor mereka parkir di halaman rumah warga, berupa tanah yang sudah becek oleh embun.
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Jalan setapak berupa pematang sawah yang licin, selebar 30 sentimeter, diapit sawah padi di kiri kanan. Setiap langkah seperti ujian keseimbangan. Kadang terdengar tawa kecil saat salah satu dari mereka tergelincir lumpur.
“Lahan padi ini kalau musim hujan terendam semua, air rawa naik hingga menutup sawah-sawah ini,” ujar Zulfa sambil menunjuk tanaman padi yang tampak subur.
Saya ikut berjalan di belakang rombongan itu. Ransel-ransel mereka tampak berat, berisi pupuk, alat ukur, dan bekal makan siang yang dimasak bergantian di posko. “Kami punya jadwal piket,” tambahnya. “Ada piket masak, piket lahan, semuanya bergilir.”
Pematang sawah itu berakhir. Dari kejauhan, saya melihat beberapa perahu kayu tertambat di bambu. Di sinilah perjalanan air dimulai. “Dari tanggul ini ke lahan sekitar satu kilometer,” kata Zulfa. “Kami dayung sendiri. Sepuluh menit kalau lancar.”
Perahu-perahu itu kecil, hanya cukup dua orang. Sebagian mahasiswa sudah lihai mendayung, sebagian lain masih tampak kikuk. Mereka mengenakan pelampung oranye, mengayuh dengan ritme pelan di antara hamparan eceng gondok yang menutup permukaan air.
Eceng gondok menjadi tantangan tersendiri. Kadang perahu terjebak di tengah-tengahnya, membuat mereka harus mencari jalur lain atau nekat menerjang tanaman itu dengan mengerahkan tenaga ekstra untuk mendayung.
“Tantangan kami itu, kalau angin besar. Ombak di rawa bisa tinggi,” kata Zulfa sambil tertawa kecil.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait
