Sementara itu, dari sisi pengamanan, Kepala Bagian Pembinaan Operasional dan Pembinaan Masyarakat) pada Ditbinmas Polda Jateng, AKBP Wawan Purwanto, menjelaskan bahwa potensi gangguan menjelang Natal kerap muncul dari kesalahpahaman, provokasi, hingga narasi intoleransi yang berkembang di masyarakat maupun media sosial.
“Gangguan itu jarang muncul tiba-tiba. Biasanya ada tanda-tanda awal, seperti narasi penolakan, isu rumah ibadah, atau provokasi yang berkembang pelan-pelan. Karena itu, kehadiran polisi harus dari hulu sampai hilir,” tegasnya.
AKBP Wawan menekankan bahwa pengamanan Natal bukan hanya soal menjaga gereja, tetapi juga membersihkan potensi gangguan sampai ke akarnya agar tidak menjadi “bom waktu” di kemudian hari. Ia juga mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap pengaruh konten kekerasan di media sosial, terutama pada anak dan remaja, yang bisa memicu tindakan ekstrem jika tidak diawasi bersama.
“Kita tidak boleh lengah. Deteksi dini harus dilakukan bersama, bukan hanya oleh polisi, tapi juga keluarga, sekolah, tokoh agama, dan masyarakat,” ujarnya.
Dalam konteks yang lebih luas, Ketua FKUB Jawa Tengah Prof. Imam Yahya menegaskan bahwa Natal dan Tahun Baru adalah momentum penting untuk merawat toleransi dan keharmonisan sosial di tengah keberagaman.
“Perbedaan agama bukan ancaman, tetapi kekuatan. Natal justru membuka ruang kerja sama antarumat beragama untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan kedamaian bersama,” jelas Prof. Imam.
Ia mengingatkan bahwa tantangan jelang Natal kerap datang dari hoaks, provokasi, dan politisasi identitas. Karena itu, peran tokoh agama menjadi krusial sebagai teladan, motor penggerak moderasi, sekaligus fasilitator dialog di tengah masyarakat.
Negara, lanjut Prof. Imam, melalui aparat keamanan juga memiliki kewajiban konstitusional untuk bersikap netral, adil, dan proporsional dalam penegakan hukum, agar setiap warga negara dapat menjalankan ibadahnya tanpa rasa takut atau intimidasi.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait
