Dari musala menjadi masjid, kata dia banyaknya warga yang beribadah salat selepas berpergian menggunakan perahu getek (bambu) di Kali Ciliwung. Fahri menceritakan Kali Ciliwung dahulu digunakan sebagai lalu lintas transportasi umum bagi warga Ibu Kota, sehingga banyak warga singgah untuk beribadah di masjid Al-Atiq.
"Karena dulu ada lalu lintas perahu getek, banyak warga singgah untuk salat. Karena banyaknya warga yang beribadah, akhirnya warga bersepakat untuk dipugar menjadi masjid seperti sekarang," ujarnya.
BACA JUGA:
Polisi Gerebek Gudang Minyak Goreng Premium Palsu
Meski menjadi tempat bersejarah penting bagi umat Islam di Jakarta, Fahri menegaskan pengelola Masjid Jami Al-Atiq menolak dialihfungsikan menjadi Cagar Budaya oleh Pemerintah provinsi DKI Jakarta.
Dia pun menyampaikan hal tersebut karena pihaknya khawatir ketika sudah menjadi Cagar Budaya, pengurusan renovasi dan pemugaran akan menjadi sulit.
"Sebenarnya memang Pemprov DKI Jakarta sudah mengajukan untuk menjadikan Masjid Jami Al-Atiq sebagai cagar budaya. Di antaranya memang ada beberapa benda pusaka dari masjid ini dibawa ke Dinas Purbakala Pemprov DKI. Namun kami menolak Masjid ini menjadi Cagar Budaya karena pengurusnya khawatir akan sulit melakukan renovasi dan pemugaran," katanya.
Fahri pun menunjukkan sejumlah peninggalan bersejarah yang masih berada di Masjid Jami Al-Atiq. Salah satunya kusen di atas mimbar masjid yang terbuat dari kolase kaca. Selain itu, dia menunjukkan tongkat peninggalan masjid yang digunakan Khatib saat memberikan khutbah salat Jumat. Tongkat tersebut pernah dicari oleh sebagian orang lantaran serbuk kayunya dapat dijadikan obat.
BACA JUGA:
Sosok Linda Jayusman, Terapis Pijat Online yang Miliki Duit Rp7,5 Miliar
Editor : M Taufik Budi Nurcahyanto
Artikel Terkait