Mengajar di Dapur Lunpia Cenol, Ivan Hidupkan Warisan Tionghoa-Jawa

Filosofi dan Sejarah
Mulai dari mengenal bahan dasar, seperti rebung, ayam, udang, ikan pihi, hingga cara mengolah dan melipat kulit lunpia yang khas, semua diajarkan dengan penuh kesabaran. Ivan tak hanya mengajarkan cara memasak. Ia juga menanamkan nilai-nilai penting di balik keberadaan lunpia sebagai bagian dari warisan kuliner Semarang.
“Kami ingin generasi muda tahu bahwa Semarang punya kuliner khas yang harus dijaga dan dilestarikan,” ujar Ivan, Selasa (22/4/2025).
Menurutnya, edukasi kuliner harus dimulai dari pemahaman sejarah dan budaya, agar lebih membekas dan menyentuh hati. Ivan juga sering berdiskusi dengan para mahasiswa yang datang, membuka ruang tanya-jawab, hingga menjelaskan filosofi di balik lunpia. Lunpia Semarang bukan sekadar kuliner, tetapi simbol perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa yang mencerminkan harmoni, adaptasi, dan semangat menjaga tradisi lintas generasi.
Dengan cara itu, mahasiswa bukan hanya membawa keterampilan baru, tetapi juga pemahaman lebih dalam tentang budaya kuliner. Di ruang tamu rumahnya yang disulap menjadi tempat praktik sederhana, Ivan memfasilitasi semua kebutuhan belajar.
Setiap sesi praktik diakhiri dengan mencicipi lunpia hasil buatan mereka sendiri. Tak jarang, mahasiswa membagikan hasilnya ke teman atau keluarga sebagai bentuk kebanggaan.
“Kalau lunpia dibuat dengan cinta, hasilnya luar biasa. Itulah yang kami ajarkan ke generasi muda,” kata Ivan.
Tak berhenti di Semarang, semangat Ivan merambah hingga ke luar kota. Ia pernah diundang langsung ke Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta untuk mengajar mahasiswa di sana.
Ivan dan timnya datang langsung ke kampus, membawa bahan-bahan dan peralatan, lalu menggelar sesi praktik interaktif di ruang kelas. Di sana, ia juga mengedukasi sejarah lunpia, menjelaskan tentang perpaduan budaya Tionghoa-Jawa yang melahirkan lunpia khas Semarang.
Para mahasiswa pun tampak antusias. Banyak dari mereka yang baru pertama kali mengenal kuliner ini dan langsung terlibat membuatnya sendiri. Menurut Ivan, praktik langsung jauh lebih berdampak ketimbang sekadar membaca atau menonton.
“Dengan praktik, mereka akan lebih terhubung,” katanya.
Editor : Enih Nurhaeni