Ribuan Warga Tumpah Ruah Saksikan Jathilan di Depan Toko Abba Pudakpayung

SEMARANG, iNEWSJOGLOSEMAR.ID – Jalan Renjana Raya, tepatnya di depan Toko Abba P4A RW 11 Pudakpayung, Banyumanik, Kota Semarang, berubah menjadi lautan manusia, Sabtu (24/5/2025). Ribuan warga dari berbagai penjuru memadati area tersebut untuk menyaksikan pertunjukan kuda lumping atau jathilan yang menjadi bagian dari rangkaian Sedekah Bumi.
Anak-anak hingga orang tua tumpah ruah di lokasi. Suasana semakin semarak saat sejumlah pemain jathilan mengalami kesurupan. Mereka menari tak terkendali dan bahkan memakan bunga (kembang) sebagai bagian dari ritual pertunjukan.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Pudakpayung, Kapendi, menyebut pertunjukan jathilan ini sebagai agenda budaya tahunan yang telah mengakar di masyarakat RW 11 dan sekitarnya.
“Ini agenda tahunan yang dikenal di RW 1, 2, dan 11. Termasuk guru-guri budaya karena ini adalah hiburan buat masyarakat,” ungkap Kapendi.
Menurutnya, jathilan selalu digelar setiap kali Sedekah Bumi berlokasi di RW 11. “Kalau pas jatuhnya di RW 11, kita pasti ada jathilan. Jathilan itu adalah kuda lumping, jalan eblek, dari Paguyuban Setyo Manunggal Banyubiru, Kabupaten Semarang,” jelasnya.
Kapendi menambahkan, antusiasme warga luar biasa. “Alhamdulillah yang datang masyarakat banyak sekali. Terutama dari Kelurahan Pudakpayung juga datang tumplek blek di sini. Tadi kita tampilkan jathilan, ada juga reog, dan warokan dari paguyuban. Ini tahunan, tapi digilir, jadi ke RW 11 setiap tiga tahun sekali,” paparnya.
Paguyuban Setyo Manunggal dari Banyubiru menjadi grup kesenian utama dalam acara tersebut. Mereka menampilkan pertunjukan kuda lumping dengan formasi lengkap: pemain kuda lumping, warok, penabuh gamelan, dan penari reog.
Muhammad Nasrudin, sesepuh Paguyuban Setyo Manunggal, menjelaskan bahwa keikutsertaan mereka merupakan bagian dari perayaan budaya yang mengiringi Sedekah Bumi RW 11, RW 2, dan RW 1 Pudakpayung.
“Kami ikut memeriahkan dalam rangka sedekah bumi atau bersih dusun. Semoga bisa menghibur masyarakat dan tidak ada halangan apapun,” tuturnya.
Menurut Nasrudin, anggota Setyo Manunggal berjumlah 56 orang, terdiri dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. “Kita kumpulan satu dusun. Kita namakan Setyo Manunggal karena kami bersatu, Manunggal, menjadi satu,” ungkapnya.
Penampilan mereka mencakup elemen budaya dari berbagai daerah. “Warokan itu kita ambil dari sejarah Madura dan Ponorogo. Reog dan jathilan itu bentuk warisan budaya yang kita usung agar tetap lestari,” tambah Nasrudin.
Paguyuban Setyo Manunggal dikenal aktif mengisi berbagai panggung budaya di wilayah Kabupaten dan Kota Semarang. “Kami sering adakan pertunjukan di mana-mana, baik di Kabupaten maupun Kota Semarang. Semoga ke depan bisa tampil lagi di RW 11 Pudakpayung,” ucap Nasrudin.
Antusiasme warga menjadi bukti bahwa seni pertunjukan tradisional seperti jathilan masih mendapat tempat istimewa di hati masyarakat. Banyak dari mereka yang datang sejak siang acara belum dimulai untuk mengamankan posisi menonton terbaik.
Malam harinya, acara dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk sebagai penutup atau acara pamungkas rangkaian Sedekah Bumi. Wayangan menghadirkan Dalang Greng Ki Exwan Susanto dari Sragen, digelar di lokasi yang sama. Diperkirakan akan kembali menarik massa besar dari warga sekitar.
Tradisi jathilan dan wayangan dalam Sedekah Bumi ini tak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga sarana mempererat silaturahmi. Selain itu, menanamkan nilai budaya pada generasi muda, dan melestarikan seni tradisi di tengah arus budaya global.
Editor : Enih Nurhaeni