SEMARANG – Tubuhnya tinggi besar dengan suara berat ketika berbicara. Kesan angker semakin kuat dengan sorot tatapan mata tajam kepada lawan bicara. Terlebih setelah mengetahui pria itu pernah tergabung di Korps Brimob selama 18 tahun di Papua, daerah yang sampai saat ini masih belum sepenuhnya damai.
Namun, anggapan galak dan angker seketika hilang saat pria bernama Sudali asal kelurahan Wonolopo Kecamatan Mijen Kota Semarang Jawa Tengah, itu justru humoris dan tak irit bicara. Meski masih dengan pakaian seragam warna cokelat dan sepatu lars, tidak menjadikannya sebagai polisi yang ditakuti.
Beragam cerita mengalir dari mulut perwira polisi berpangkat Iptu tersebut. Bukan tentang perang dan senjata yang belasan tahun disandangnya, melainkan cerita tentang tata cara mengolah tanah lahan pertanian. Pemilihan bibit, penggunaan pupuk, hingga cara membasmi hama disampaikannya dengan bahasa lugas.
Sejumlah anak muda duduk rapi di pematang sawah menyimak penuturannya. Mereka adalah petani milenial yang rata-rata usia pelajar dan mahasiswa. Anak-anak muda yang sengaja digaet untuk ikut terjun ke sawah. Meski awalnya tak mudah mengajak generasi Z mau berkubang dalam lumpur sawah.
“Anak zaman sekarang kan susah untuk diajak bertani. Saya lakukan pendekatan dengan pelan-pelan ke mereka satu persatu, hingga akhirnya ada mau. Dan kini jumlahnya ada 13 anak di Wonolopo ini yang ikut menjadi petani milenial,” kata Iptu Sudali, Senin (17/10/2022).
“Saya ajak mereka untuk membajak lahan, menebar benih, menyiangi rumput, sampai panen juga,” imbuhnya lagi.
Iptu Sudali yang kini berdinas di Polres Kendal Polda Jawa Tengah mengaku prihatin dengan kelangsungan pertanian di Tanah Air. Sebab, minimnya regenerasi petani akan menjadikan lahan pertanian mangkrak tidak tergarap.
“Berangkat dari keprihatinan, karena dulu Pak (Presiden) Jokowi pernah bilang menyampaikan kekhawatiran untuk 10 tahun ke depan, sawah itu tidak ada yang garap, karena orang-orang tua pasti sudah pada pensiun sebagai petani di sawah,” ungkapnya.
Petani-petani milenial dari kalangan pelajar dan mahasiswa ini tumbuh sejak badai pandemi Covid-19. Mereka memiliki banyak waktu luang di rumah, karena tak datang ke sekolah atau kampus dan pembelajaran dilakukan secara daring.
“Maka dari itu saya melihat anak-anak muda yang di rumah hanya main HP, saya datangi satu-satu saya ajak terlibat dalam pertanian di sawah. Sebab, sawah ini yang menjadi sumber makanan pokok kita, yaitu padi,” terangnya.
Bukan sebagai petani biasa, Sudali menggerakkan anak-anak muda itu untuk mengembangkan pertanian organik. Penggarapan lahan dan perawatan tanaman tak menggunakan pupuk kimia yang membahayakan lingkungan.
Mereka kompak berbagi tugas mengolah sawah, mulai penyiapan lahan dengan membajak dan meratakan tanah, kemudian menabur pupuk kandang sebelum ditanam bibit padi. Pekerjaan masih belum usai, karena hama keong datang menyerang batang padi.
Bukan memberantas dengan pestisida atau obat-obatan berbahaya, mereka turun ke sawah untuk menyisir keong di setiap batang padi. Sebagian pemuda lainnya menyemprotkan ramuan obat dari fermentasi buah maja untuk membasmi hama.
Ketika bulir padi mulai tumbuh, kawanan burung menjadi tamu tak diundang hingga meresahkan petani-petani muda. Mereka pun memasang jaring-jaring di atas lahan, agar bulir padi semakin berisi dan merunduk hingga memasuki masa panen.
Ketekunan para petani milenial ini berbuah manis. Lahan garapan yang semula hanya seluas 8.000 meter persegi kini berkembang menjadi 1,3 hektare. Hasil panen juga cukup membanggakan setelah bisa menghasilkan beras sekira 1,5 ton.
“Kalau nilai tambah dari padi organik ini adalah hasil jualnya lebih tinggi daripada yang biasa. Kan kita kemas sendiri berasnya, dan harga jualnya lebih mahal dari harga beras biasa,” tutur dia.
Ketua Petani Milenial Wonolopo Nur Anwa Fendrynathan, mengaku mendapat banyak pengalaman mengolah lahan pertanian. Sebagai lulusan SMA Jurusan Bahasa, pengetahuan seputar bertani sangat minim.
“Saya suka bertani cuma selama ini belum mendapat ilmunya. Hanya hobi tanam-tanam saja, tapi ilmunya masih otodidak. Kalau sekarang di sini kan kita dibimbing ada Pak Sudali yang mendampingi, bahkan beliau juga ikut terjun langsung, mencangkul atau membajak menggunakan traktor,” ujarnya.
Selain menanam padi organik, kini juga dikembangkan tanaman hortikultura tanpa pupuk kimia. Di antaranya adalah budidaya singkong jenis rengganis, yang masa panen lebih cepat dengan hasil bagus dibandingkan jenis lainnya.
“Singkong rengganis ini sudah emmasuki usia enam bulan sudah siap panen. Dan ini enak sekali ketika digoreng, kriuk-kriuk krispi, jadi enak kalau dijadikan camilan,” kata dia.
Bukan hanya lahan padi dan hortikultura organik, petani milenial juga menyiapkan embung untuk sarana pengairan sekaligus kolam ikan. Termasuk di lahan padi, juga ditabur bibit ikan atau mengembanhkan sistem minapadi (gabungan ikan dan padi).
Plt Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, memberikan apresiasi para petani milenial. Lokasi lahan padi tanam padi dan ternak ikan menarik perhatian warga hingga menjadi destinasi wisata yang menarik.
“Anak-anak muda membentuk komunitas bernama petani milenial yang melakukan kegiatan positif. Di sini semua terintegrasi, mulai dari minapadi, penghijauan, bahkan pemeliharaan ikan, ini yang harus kita dorong agar petani milenial ikut mewujudkan kedaulatan pangan,” kata perempuan yang akrab disapa Mbak Ita tersebut.
Peran anak-anak muda yang digerakkan mantan anggota Brimob ini bukan hanya menciptakan ketahanan pangan, tetapi juga meneguhkan Indonesia sebagai negara agraris agar tak sekadar slogan semata.
Editor : M Taufik Budi Nurcahyanto
Artikel Terkait