SEMARANG, iNewsJoglosemar.id – Kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Pemerintah Indonesia telah memberlakukan kenaikan PPh dari 10% menjadi 11%.
Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara guna membiayai program-program pembangunan, termasuk sektor kesehatan. Namun, kenaikan ini memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat dan pengusaha.
Peningkatan PPh yang mulai berlaku pada 1 Januari 2024 diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Kenaikan ini berlaku untuk berbagai kategori wajib pajak, baik individu maupun badan usaha. Dengan tarif baru ini, diharapkan pendapatan negara akan meningkat secara signifikan.
Di tengah perdebatan mengenai kenaikan PPh, isu kenaikan PPN menjadi semakin santer terdengar. Pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada tanggal 1 Januari 2025. Rencana ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Saat ini, tarif PPN yang berlaku adalah 11%, dan kenaikan ini menjadi bahan diskusi hangat di masyarakat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa kenaikan PPN telah dipertimbangkan secara matang untuk meningkatkan penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai program-program prioritas. Kenaikan tarif PPN dinilai dapat membantu mengoptimalkan penerimaan perpajakan dan menstabilkan ekonomi negara. Meskipun terdapat pro dan kontra, kebijakan ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.
Anggaran Kesehatan Naik
Salah satu sektor yang diharapkan mendapat manfaat dari peningkatan pendapatan pajak adalah sektor kesehatan. Di Indonesia, layanan kesehatan yang berkualitas dan merata merupakan salah satu prioritas pemerintah. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyedia Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sangat bergantung pada pendanaan yang sebagian besar bersumber dari pajak, termasuk PPh dan PPN.
Dengan kenaikan tarif pajak, pendapatan negara diharapkan meningkat. Sebagian dari pendapatan tambahan ini dapat dialokasikan untuk sektor kesehatan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada 2024, anggaran kesehatan ditetapkan sebesar Rp186,4 triliun atau sebesar 5,6% dari APBN. Jumlah ini meningkat 8,1% atau Rp 13,9 triliun, dibandingkan dengan anggaran pada 2023.
Dalam lima tahun terakhir anggaran kesehatan terus mengalami kenaikan. Dari sebesar Rp119,9 triliun pada 2020, menjadi Rp124,4 triliun pada 2021, menjadi Rp134,8 triliun pada 2022, menjadi Rp172,5 triliun pada 2023, dan sebesar Rp186,4 triliun pada 2024.
BPJS Kesehatan mencatatkan jumlah peserta JKN mencapai 262.865.343 per 1 September 2023. Jumlah tersebut mencakup sekira 94,64 persen jumlah penduduk Indonesia. Program ini dibiayai oleh iuran peserta serta subsidi dari pemerintah yang bersumber dari pajak.
Menurut data dari BPJS Kesehatan, biaya jaminan kesehatan sepanjang 2023 naik dibandingkan dengan 2022. Kenaikannya mencapai Rp45 triliun menjadi Rp158 triliun pada 2023, atau realisasi pada 2022 mencapai Rp113 triliun.
Dari data tersebut juga diketahui, pendapatan yang diperoleh dari iuran peserta mencapai Rp151,4 triliun pada 2023. Perinciannya pendapatan dari segmen PBI menjadi terbanyak mencapai Rp61,7 triliun dengan PBI dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp45,5 triliun, serta PBI dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mencapai Rp16,1 triliun.
Warga Miskin Dijamin
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, menetapkan bahwa setiap warga negara wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran BPJS Kesehatan dibagi menjadi dua kategori, yaitu Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Besaran iuran bagi PPU ditentukan berdasarkan persentase dari gaji, sedangkan bagi PBPU besaran iurannya flat sesuai kelas pelayanan yang dipilih.
Pemerintah juga memberikan subsidi bagi peserta BPJS Kesehatan dari golongan tidak mampu yang masuk dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI). Subsidi ini dibiayai dari anggaran yang bersumber dari pajak, sehingga keberlanjutan dan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat miskin tetap terjaga.
Secara makro, nilai pajak yang dikumpulkan pemerintah sangat berkorelasi dengan jumlah masyarakat yang ter-cover oleh BPJS Kesehatan. Pada 2023, total penerimaan pajak sebesar Rp1.718 triliun. Dengan jumlah sebesar ini, penerimaan pajak berkontribusi sekira 70 persen dari total pendapatan negara dalam APBN 2023 sebesar Rp2.463 triliun.
Pembangunan Berkelanjutan
Peningkatan pajak penghasilan menjadi 11% dan rencana kenaikan PPN menjadi 12% memiliki korelasi positif yang signifikan dengan layanan kesehatan yang disediakan oleh BPJS Kesehatan. Pendapatan tambahan dari pajak ini memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan, memberikan subsidi lebih besar untuk BPJS Kesehatan, dan mengurangi defisit anggaran BPJS Kesehatan. Dampak positif ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan cakupan layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia, sehingga menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan produktif.
Tambahan dana dari peningkatan pajak penghasilan dan PPN juga dapat digunakan untuk memperbaiki infrastruktur kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas, dan fasilitas kesehatan lainnya. Ini akan langsung berdampak pada peningkatan kualitas layanan kesehatan yang diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan. Selain itu, peningkatan dana juga dapat digunakan untuk pelatihan tenaga kesehatan, pembelian obat-obatan, dan peralatan medis yang lebih baik.
Dalam jangka panjang, kenaikan PPh dan PPN serta alokasi dana yang lebih besar untuk kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, juga menjadi instrumen yang efektif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pembangunan yang merata di Indonesia.
Penulis: M Taufik Budi Nurcahyanto
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait