Yang menarik, sebagian besar nayaga atau penabuh gamelan merupakan anak-anak muda. Ki Exwan menjelaskan, mereka tergabung dalam satu sanggar bernama Kukilo Laras yang berbasis di Ngawi.
“Teman-teman itu saya rangkul, yuk kita berinovasi, kita masih muda, harus punya kreativitas dalam dunia seni, supaya ke depan bisa diterima semua lapisan masyarakat,” ungkapnya.
Anggota sanggar tersebut datang dari berbagai daerah seperti Sragen dan Ngawi. “Di dunia seni, masuk jadi pegawai negeri itu susah. Makanya saya kumpulkan teman-teman dalam satu wadah sanggar Kukilo Laras. Kadang ada waktu rutin latihan, membahas karya-karya baru,” tambahnya.
Ia juga menjelaskan makna dari nama Greng sebagai identitas kelompoknya. “Greng itu bisa diartikan Generasi Remaja Eling Neng Gawean, atau Generasi Remaja Eling Neng Kabudayan untuk Grenk. Intinya kita sebagai anak muda, ayo terus berkarya,” ucap Ki Exwan.
Pementasan kedua di RW 11 Pudakpayung, menurut Ki Exwan, terasa sangat dekat secara emosional. “Alhamdulillah, berhubung kita sama beliau-beliau itu sudah seperti keluarga, jadi saya sangat menikmati. Seolah bukan orang lain, seperti keluarga sendiri. Beliau orang tua saya, saya adalah anaknya. Jadi ketika pentas itu rasanya lebih mudah,” tuturnya penuh syukur.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait