Air Laut Siap Minum
Selain di sektor UMKM, Desa Banjarsari juga tengah mengembangkan program desalinasi air laut menjadi air siap minum. Desalinasi ini memanfaatkan air baku dari embung desa yang rasanya asin karena pengaruh intrusi air laut.
“Air asin itu disaring melalui sistem desalinasi, dan hasilnya bisa diminum. Ini program dari Pak Gubernur Jawa Tengah,” katanya.
Menurutnya, program ini sangat membantu mengatasi krisis air bersih yang selama ini menjadi masalah utama warga pesisir.
“Harapannya, nanti air hasil desalinasi juga bisa dimanfaatkan untuk pertanian hidroponik,” ujarnya.
Dalam waktu dekat, Pemerintah Desa berencana mengombinasikan teknologi desalinasi dengan energi surya agar sepenuhnya mandiri dan berkelanjutan, sekaligus menekan biaya listrik.
“Insyaallah akhir tahun 2025 nanti sistem panel surya juga akan dipasang untuk mendukung unit desalinasi,” tambah Haryanto.
Satria Pinandita, dosen Teknik Elektro Universitas Semarang (USM), sejak 2022 meneliti teknologi PLTS-PLTB hybrid — sistem pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga bayu. Ia percaya, potensi panas dan angin di pesisir utara Jawa bisa diolah untuk menjawab krisis listrik yang kerap melanda desa-desa nelayan.
“Prinsipnya sederhana, kita memanfaatkan apa yang ada di sekitar. Matahari dan angin di pesisir ini tidak pernah absen,” ujar Satria saat ditemui di laboratorium energi terbarukan Universitas Semarang.
Penelitiannya dimulai dari Desa Tambakharjo, Semarang, dua tahun lalu. Di sana ia membangun sistem hybrid untuk melistriki pujasera energi yang dikelola warga. Dari proyek kecil itu, lahirlah gagasan besar: energi mandiri untuk desa pesisir.
Tahun berikutnya, 2023, Satria membawa inovasi serupa ke Desa Banjarsari, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Desa yang dikelilingi tambak dan berjarak kurang dari dua kilometer dari laut itu selama bertahun-tahun hidup dalam kegelapan saat malam tiba.
“Di Banjarsari, kami kenal dengan perangkat desanya dan gayung bersambut. Mereka sepakat untuk membangun pembangkit hybrid dengan kapasitas sekitar tiga kilowatt-hour untuk penerangan jalan desa,” jelasnya.
Pembangkit itu memanfaatkan panel surya 1.200 watt dan turbin angin 500 watt. Listrik yang dihasilkan disimpan dalam baterai 3.600 watt untuk menyalakan 17 titik lampu di sepanjang jalan tambak sejauh satu kilometer.
Saat senja tiba, lampu-lampu otomatis menyala berkat sensor cahaya, menerangi jalan berlumpur yang sebelumnya gelap gulita. Menjelang subuh, lampu-lampu itu padam kembali. Sederhana, tapi mengubah kehidupan warga.
“Ini sistem off-grid, tidak terhubung PLN. Jadi sekalipun listrik mati, desa tetap terang,” ujar Satria.
Ia menjelaskan, kincir angin di sistem hybrid bekerja saat cuaca mendung atau malam berangin. Angin yang menabrak baling-baling akan memutar generator dan mengisi baterai. Saat siang hari, sinar matahari mengambil alih, memberi pasokan listrik dari panel surya. Dua sumber energi ini saling melengkapi — itulah mengapa disebut hybrid.
Meski sederhana, hasilnya luar biasa. Berdasarkan hasil perhitungannya, sistem ini mampu beroperasi hingga 20 tahun dan menghasilkan energi total 12,9 megawatt-jam, setara penghematan biaya listrik sebesar Rp17 juta dibanding jaringan PLN.
Teknologi ini, kata Satria, bukan sekadar solusi teknis, tapi juga simbol kemandirian desa. “Selama ini banyak daerah pesisir tergantung pada bantuan pemerintah atau PLN. Padahal, dengan sedikit inovasi, mereka bisa mandiri,” ujarnya.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait
