Digitalisasi untuk Deteksi Dini
Perubahan sistem pencatatan ini memberi dampak besar bagi para tenaga kesehatan di lapangan. Fiden Yuki Yulinawati, bidan desa Cabean, mengaku kini lebih mudah memantau perkembangan balita karena data bisa diakses kapan pun dibutuhkan.
“Jumlah balita yang tercatat di SiCandu ada 332 anak dan tingkat imunisasi mencapai 95%. Namun belum semuanya masuk ke sistem, dan bisa dipantau dengan cepat.”
Menurutnya, sebelum digitalisasi, laporan bulanan bisa memakan waktu hingga sebulan karena harus menunggu semua Posyandu selesai. Kini, setelah data dimasukkan ke sistem, laporan bisa langsung ditarik tanpa perlu rekap ulang.
“Kalau berat badan dan tinggi badan anak sudah diinput, hasil status gizinya langsung muncul,” jelasnya. “Sistem ini otomatis memberi tanda jika ada anak yang stunting.”
Yuki menilai waktu kerja kader kini jauh lebih efisien. “Dulu mereka bisa seharian hanya untuk merekap catatan satu pos,” katanya. “Sekarang semua bisa dilakukan dalam waktu singkat.”
Bahkan, menurutnya, warga kini merasa lebih percaya terhadap layanan Posyandu karena informasi lebih cepat dan transparan. “Ibu-ibu bisa tahu kapan jadwal Posyandu, apa hasil pengukuran anaknya, semua lewat sistem. Ini bentuk pelayanan publik yang lebih baik.”
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk di Kabupaten Demak mencapai 1,25 juta jiwa pada tahun 2024. Dari jumlah tersebut, Demak termasuk daerah berpenduduk padat di pesisir utara Jawa Tengah.
Dari total populasi itu, sekira 23,46% atau lebih dari 290 ribu jiwa merupakan anak-anak berusia 0–14 tahun. Jumlah anak yang besar ini menjadi potensi sekaligus tantangan, terutama dalam memastikan tumbuh kembang mereka terpenuhi dengan baik.
Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan bahwa angka stunting di Demak masih berada di kisaran 10%. Rinciannya adalah 1,1% balita tergolong severely stunting dan 8,9% stunting biasa, serta 90% anak dalam kondisi gizi normal.
Dari data itu, Demak memang lebih baik dibandingkan beberapa kabupaten lain: Kendal (15,2%), Grobogan (20,8%), atau Temanggung (22%), namun sedikit tertinggal dibanding Kota Semarang (10,6%) dan Kota Salatiga (10,2%). Meski tren menurun dibandingkan tahun sebelumnya, namun tetap menjadi sinyal bahwa upaya pencegahan belum boleh berhenti.
Editor : Enih Nurhaeni
Artikel Terkait