Ladang Emas Putih Itu Bernama Garam

Taufik Budi
Ladang Emas Putih Itu Bernama Garam. Foto: Taufik Budi

Jalan Menuju Swasembada Garam

Guru besar Oseanografi di Universitas Diponegoro (Undip), Prof. Dr. Denny Nugroho Sugianto, yang fokus pada kajian pesisir, menggambarkan tantangan dan peluang teknologi garam di Jawa Tengah. Ia memulai dari fakta bahwa saat ini Jawa Tengah menyuplai sekitar 30% produksi garam nasional — angka yang menunjukkan betapa pentingnya provinsi ini dalam skema ketahanan garam Indonesia.

Menurut Prof. Denny, meskipun teknologi garam modern telah diuji coba di beberapa titik di pantura Jawa Tengah — misalnya daerah Rembang dan Pati — implementasinya sering kurang optimal. Alasannya, edukasi ke masyarakat belum mengakar: transfer pengetahuan (knowledge transfer) dan pelatihan praktis di lapangan belum intensif dan konsisten. Akibatnya, banyak petani masih menggunakan metode tradisional, yang memiliki efisiensi dan mutu terbatas.

Ia menekankan bahwa teknologi sederhana seperti geomembran atau ADB (Acrylic Double Base) sesungguhnya bisa dijangkau dan diadopsi. Bila teknologi itu diterapkan secara luas, Prof. Denny meyakini produktivitas garam bisa meningkat sebesar 30–40 %, selain kadar NaCl garam bisa mencapai di atas 97 %, sesuai standar industri.

“Teknologi ini cukup sederhana dan sudah disosialisasikan. Namun harga geomembran belum optimal, sehingga sebagian petani tetap memilih metode tradisional,” ujarnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa penggunaan geomembran bukan tanpa tantangan. Salah satu masalah adalah sedimentasi: tanah dasar tambak sering membawa lumpur atau partikel halus yang menyatu dengan membran, mengurangi efektivitas kristalisasi garam. Proses kristalisasi yang optimal mensyaratkan bahwa tanah dan membran tidak bercampur, agar kristal garam tumbuh murni dan tidak tercampur kotoran.

Untuk menjawab persoalan tersebut, Prof. Denny menyarankan bahwa pengelolaan tambak secara terpadu perlu dilakukan. Pemerintah daerah dan pemangku kebijakan harus merancang kawasan tambak terpadu: lahan untuk pengendapan, penuaan, dan kristalisasi ditempatkan secara zonasi di satu kawasan. Dengan demikian, petani tidak bertarung satu sama lain memperebutkan ruang kristalisasi.

Misalnya, jika satu kawasan tambak memiliki 1.000 hektare, bagian kecil dialokasikan khusus sebagai kolam pengendapan, sebagian sebagai penuaan, dan sebagian sebagai kristalisasi. Hasil panen kemudian dibagi sesuai rasio luas lahan yang digunakan, agar petani yang hanya punya tanah di dekat pengendapan tetap mendapat bagian dari kristalisasi.

Prof. Denny mengkritik model saat ini yang terlalu parsial dan individual—petani beroperasi sendiri-sendiri dan terkadang mementingkan petak kristalisasi sendiri, sementara tahap penuaan dan pengendapan dikesampingkan. Ia menyatakan bahwa intervensi pemerintah dalam tata ruang kawasan tambak menjadi sangat penting agar sistem ini berjalan efektif.

Tata ruang kawasan tambak garam bisa diatur di level kecamatan atau kabupaten: satu lokasi ditetapkan sebagai kawasan intensif garam industri, di mana pemilik lahan menerima kompensasi atau pendapatan berdasarkan pembagian lahan. Dengan pemetaaan yang sistematis, pemerintah bisa menetapkan lokasi yang paling strategis untuk kristalisasi, pengendapan, dan penuaan.

Di samping itu, Prof. Denny juga menyoroti pentingnya aspek hidrolika tambak: sumber air yang berkualitas, sistem kanal, dan pengaturan aliran air antarpetak. Ia menyebut bahwa beberapa petani tidak memiliki kanal pengontrol atau kolam pengendapan karena keterbatasan lahan. Akibatnya, mereka langsung memasukkan air ke petak kristalisasi, yang sering menghasilkan garam berkualitas rendah.

Prof. Denny mengakhiri bahwa potensi garam di Indonesia sangat besar — sebagai negara kepulauan, panjang pantai dan cadangan laut menyediakan lahan tambak yang luas. Jika kombinasi antara teknologi, kebijakan, dan semangat petani seperti Syahid digunakan dengan tepat, swasembada garam pada 2027 bukan sekadar impian, tetapi tujuan yang bisa dicapai.

Menjelang senja, saya tak langsung pulang. Berdiri di tepi tambak Desa Babalan, pesisir utara Demak. Cahaya matahari yang mulai condong ke barat memantul di permukaan tambak, membuat kristal-kristal garam berkilau keemasan seperti serpihan kaca di atas cermin air. Angin laut berembus, membawa aroma asin.

Di kejauhan, Farid dan para petani masih sibuk menimbun hasil panen hari itu, sementara suara kincir angin terus berputar di antara petak-petak tambak. Saya sadar, garam bukan sekadar hasil bumi, tapi simbol ketekunan manusia pesisir yang bertarung dengan cuaca, menantang waktu, dan menggantungkan hidup pada laut yang tak pernah pasti. Dari sinilah, dari butiran putih sederhana itu, mereka menambang “emas” yang sesungguhnya — emas putih dari pesisir utara.

 

 

Editor : Enih Nurhaeni

Sebelumnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network