Menakar Efisiensi Energi Tambak Garam, LPG Melon dan Target Swasembada Nasional
 
              
             
             Inovasi Akar Rumput
Pakar Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Dr. Jaka Aminata, SE., MA menilai penggunaan tabung LPG 3 kilogram oleh petani garam di pesisir Demak sebagai pengganti bensin atau solar untuk pompa air asin merupakan bentuk efisiensi energi di sektor mikro. Menurutnya, langkah itu mencerminkan inovasi akar rumput yang lahir dari tekanan ekonomi, sekaligus upaya adaptasi teknologi tepat guna.
“Ya, ini bentuk efisiensi energi di sektor mikro, dan bahkan bisa dibaca sebagai inovasi akar rumput,” ujar Jaka Aminata.
Ia menjelaskan, petani garam tradisional umumnya mengandalkan bensin atau solar untuk menggerakkan pompa air laut dari sungai ke petak penguapan. Aktivitas itu dilakukan berulang kali dalam sehari, sehingga konsumsi bahan bakar cukup besar dan menjadi komponen biaya operasional yang paling sensitif terhadap harga minyak.
Sementara LPG 3 kilogram — yang disubsidi pemerintah — memiliki harga lebih rendah per satuan energi dibandingkan bensin atau solar eceran nelayan dan petani tambak. “Ketika petani memodifikasi mesin pompa agar bisa menggunakan LPG, mereka sedang melakukan substitusi energi yang lebih murah dan relatif lebih bersih,” paparnya.
Dari sisi mikroekonomi, lanjut Jaka, penurunan biaya energi otomatis menurunkan biaya per meter kubik air yang dipompa. Efek berantainya, biaya awal proses penggaraman ikut turun dan margin keuntungan petani meningkat.
“Harga jual garam itu price taker. Petani kecil enggak bisa seenaknya menaikkan harga, jadi satu-satunya ruang napas mereka ya di efisiensi biaya,” jelas Ketua Program Studi Ekonomi itu.
Jaka menyebut langkah petani ini sebagai bentuk “appropriate technology”, yakni inovasi lapangan yang lahir tanpa intervensi birokrasi. “Ini bukan solusi top-down dari kementerian, tapi rekayasa lapangan. Artinya, mereka menemukan cara hemat sendiri sebelum negara sempat mendesain skema buat mereka,” tegasnya.

Namun di sisi lain, fenomena ini juga menandakan belum adanya jalur energi produktif yang formal dan terjangkau bagi sektor garam rakyat. “Secara kebijakan energi, ini sinyal bahwa subsidi rumah tangga bocor ke sektor produktif informal karena memang belum ada kanal resmi,” ujarnya.
Menurut Jaka Aminata, jika tren penggunaan LPG 3 kilogram oleh petani garam meluas, pemerintah sebaiknya tidak serta merta menudingnya sebagai penyalahgunaan subsidi. Ia menyarankan agar kebijakan energi diperluas untuk mengakui penggunaan produktif oleh sektor mikro strategis seperti petani garam.
“Pemerintah bisa mengklasifikasikan petambak garam rakyat sebagai ‘usaha mikro pangan strategis maritim’, lalu memasukkan mereka ke daftar penerima energi bersubsidi produktif,” usulnya.
Dengan demikian, lanjut Jaka, pemerintah dapat membuat sistem kuota tabung LPG 3 kilogram per petani garam terdaftar. “Dua keuntungannya: pertama, biaya produksi garam rakyat turun secara terukur. Kedua, subsidi jadi transparan di APBN, bukan kebocoran tak resmi,” katanya.
Ia menegaskan, jika garam sudah dianggap komoditas strategis nasional dalam agenda ketahanan pangan dan industri, maka energi untuk memproduksinya juga patut diakui sebagai energi strategis. “Artinya kalau garam diposisikan strategis, konsistennya adalah energi produksinya juga strategis,” tandasnya.
Editor : Enih Nurhaeni
 
                          
                                      
                                      
                                      
                                      
                                      
                                      
                      
                                  
                                  
                                  
                                  
                                  
                                 