Menakar Efisiensi Energi Tambak Garam, LPG Melon dan Target Swasembada Nasional
Stok LPG 3 Kg
Menurut Ahmad Rofiq, Sekdes Babalan, luas lahan garam di desa ini mencapai 630 hektare, dengan 889 petani yang aktif menggarapnya. “Itu sesuai data kami,” ujar Rofiq. “Tahun 2024, kami memberikan bantuan berupa plastik geomembran dan mesin pompa bagi nelayan. Data petani tercatat persis, 889 orang.”
Selain bantuan alat, pemerintah desa juga memberikan pelatihan kepada petani agar garam diproduksi lebih cepat, lebih berkualitas, dan lebih layak jual. Pelatihan ini termasuk cara mempercepat panen dan menjaga kualitas garam melalui pengolahan dengan geomembran.
“Kami ingin agar kualitas garam lebih bagus, sehingga harganya lebih tinggi,” jelas Rofiq.
Ia menambahkan, rata-rata produksi garam di tambak warga berkisar 70 ton per hektare. Namun, tahun ini produksi menurun 20-50 persen karena bergantung pada cuaca. “Ini kemarau basah, jadi kualitas garam agak turun. Tapi kalau tahun 2023 lalu, kemarau panjang, hasilnya bagus banget,” tambahnya.
Perubahan metode produksi juga signifikan. Dulu petani mengandalkan kincir angin dan tanah kolam biasa, sehingga panen memakan waktu lama. Kini, dengan geomembran dan mesin pompa, waktu panen bisa dipangkas menjadi 2–4 hari.
“Mesin lebih cepat, lebih efisien. Beberapa petani masih pakai kincir untuk menghemat BBM, tapi mayoritas sudah beralih ke mesin. Perubahan pola energi di tambak-tambak kecil ini, meski tampak sederhana, sesungguhnya menyentuh agenda besar swasembada garam nasional,” jelas Ahmad.

Meski demikian, energi tetap menjadi kendala. Banyak petani menggunakan LPG melon 3 kilogram untuk menjalankan mesin pompa, padahal LPG ini bukan untuk mereka. Stok LPG di Babalan terbatas dan tidak ada pangkalan resmi.
Petani harus membeli dari tetangga desa dengan harga Rp25.000 per tabung, jauh di atas harga eceran tertinggi Jawa Tengah Rp18.500. Karena stok langka, sebagian petani kembali menggunakan bensin.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Pulau Jawa, mengalami musim kemarau basah hingga Oktober 2025. Hal ini disebabkan oleh melemahnya Monsun Australia yang berasosiasi dengan musim kemarau, sehingga suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat dan berkontribusi terhadap terjadinya anomali curah hujan.
Fenomena ini mengakibatkan kemarau basah di Pulau Jawa, yang biasanya kering justru disertai dengan curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya. Dalam kemarau basah, intensitas hujan tergolong tinggi meski frekuensinya menurun dibanding musim hujan.
Sebagai perbandingan, pada bulan September 2023, sebagian besar wilayah di Jawa Tengah, termasuk Demak, mengalami kondisi kemarau dengan curah hujan yang sangat rendah. Curah hujan rendah kurang dari 50 mm. Bahkan, BMKG mengeluarkan peringatan dini terkait kekeringan meteorologis di beberapa wilayah, termasuk Demak, pada periode 11–19 September 2023.
Sementara pada bulan September 2025, kondisi cuaca di Demak mengalami peningkatan curah hujan dibandingkan tahun sebelumnya. Curah hujan di wilayah Jawa Tengah, termasuk Demak, pada bulan September 2025 berkisar antara 21 hingga 300 mm, dengan kategori curah hujan rendah hingga menengah.
Editor : Enih Nurhaeni