get app
inews
Aa Text
Read Next : Membaca Arah Energi Hijau dari Eksperimen Jadi Kebiasaan Baru

Menakar Efisiensi Energi Tambak Garam, LPG Melon dan Target Swasembada Nasional

Kamis, 30 Oktober 2025 | 08:37 WIB
header img
Menakar Efisiensi Energi Tambak Garam, LPG Melon dan Target Swasembada Nasional. Foto: Taufik Budi

Swasembada Garam 2027

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, pada tahun 2024, produksi garam nasional berhasil menembus 2,04 juta ton, melebihi target 2 juta ton. Untuk 2025, produksi domestik diperkirakan mencapai 2,25 juta ton, ditambah stok 836 ribu ton, sehingga total pasokan lokal mencapai sekitar 63% dari kebutuhan nasional sebesar 4,9 juta ton.

Kinerja petani di Babalan berkontribusi cukup signifikan terhadap pencapaian ini, meski produksi tetap dipengaruhi kondisi cuaca, seperti kemarau basah yang menurunkan kualitas garam. Dukungan pemerintah terhadap garam rakyat tak hanya dari sisi produksi, tetapi juga strategi nasional.

Menuju swasembada garam 2027, pemerintah menyiapkan beberapa langkah di antaranya: Intensifikasi Produksi – penerapan teknologi modern dan mekanisasi di tambak garam yang ada; Ekstensifikasi Tambak – pengembangan lahan baru, khususnya di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, dengan target 13.000 hektare; Pemanfaatan Teknologi Modern – seperti geomembran dan sistem pemurnian air tua untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas garam; serta Pengembangan Kawasan Sentra Industri Garam Nasional (KSIGN) – fokus pada kawasan industri garam di Pulau Rote untuk kebutuhan industri dalam negeri.

Kebutuhan garam nasional mencapai 4,8 juta ton pada 2024 dan diperkirakan meningkat menjadi 4,9 juta ton pada 2025, dengan konsumsi industri seperti Chlor Alkali Plant mencapai ±1,7 juta ton per tahun. Pemerintah menargetkan menghentikan impor garam konsumsi pada 2025, meski impor industri tertentu tetap diperlukan.

Jaka menilai subsidi energi bisa menjadi kunci menuju swasembada garam 2027. Meski demikian, ia memberi catatan subsidi energi harus dipaketkan bersama kebijakan lain seperti perbaikan infrastruktur dan peningkatan kualitas produksi.

“Subsidi energi bisa jadi instrumen penting untuk menurunkan biaya produksi, tapi kalau berdiri sendiri, dampaknya terbatas,” jelasnya.

Ia menguraikan, proses produksi garam rakyat cukup sederhana tetapi intensif energi, terutama pada tahap pemompaan air asin dan pengeringan. Karena itu, menurunkan biaya energi berarti langsung menurunkan harga pokok penjualan (HPP).

“HPP yang lebih rendah membuat garam rakyat lebih bisa bersaing dengan garam impor,” tuturnya.

Namun, tambahnya, tantangan utama swasembada garam bukan semata biaya, melainkan juga kualitas (kemurnian NaCl), konsistensi produksi, dan kepastian lahan tambak. “Tanpa perbaikan teknologi rekristalisasi dan konsolidasi lahan tambak yang clean and clear, subsidi energi hanya menyelamatkan margin petani, belum menghapus impor,” tegasnya.

Karena itu, Jaka menilai subsidi energi seperti LPG 3 kilogram sebaiknya dilihat sebagai instrumen jangka pendek untuk menstabilkan ekonomi pesisir dan menjaga daya hidup petani garam. Sementara strategi jangka panjang tetap harus berfokus pada modernisasi teknologi dan pembiayaan sektor pergaraman.

Lebih jauh, Jaka juga menyoroti aspek lingkungan dan efisiensi emisi dari peralihan bahan bakar ini. Ia mengakui pembakaran LPG menghasilkan emisi partikel dan sulfur lebih rendah dibanding solar atau bensin, namun tetap mengingatkan bahwa arah kebijakan energi nasional tidak bisa berhenti di substitusi bahan bakar saja.

“Kalau tujuan pemerintah mengurangi emisi, subsidinya harus optimal, bukan sekadar mengganti bensin dengan LPG,” ujarnya.

Ia menegaskan, kebijakan energi dan subsidi hanya akan efektif jika disertai transparansi proses produksi dan mekanisme distribusi yang adil. “Proses produksinya harus jelas supaya kebijakan pemerintah juga jelas. Apakah perlu disubsidi atau tidak, itu bisa diukur dengan benar,” tegasnya.

Berdasarkan data resmi dari Kementerian ESDM, nilai faktor emisi karbon dioksida (CO₂) untuk bahan bakar LPG adalah sekitar 65,41 ton CO₂ per terajoule (TJ) energi yang dihasilkan, dengan nilai kalor netto (NCV) sebesar 46,12 TJ per gigagram (Gg). Sementara untuk bensin, nilai faktor emisi CO₂ adalah sekitar 73,28 ton CO₂ per TJ, dengan nilai kalor netto 43,27 TJ per Gg.

Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa LPG menghasilkan emisi CO₂ yang lebih rendah dibandingkan bensin. Namun, perlu dicatat bahwa faktor emisi CO₂ ini hanya mencakup emisi langsung dari pembakaran bahan bakar dan tidak mempertimbangkan emisi dari proses produksi dan distribusi bahan bakar tersebut.

LPG dianggap sebagai alternatif bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dibandingkan bensin, terutama dalam hal emisi CO₂ dan CO. Namun, perlu dilakukan pengelolaan dan pengawasan yang baik untuk meminimalkan potensi peningkatan emisi hidrokarbon (HC).

Jaka mengingatkan bahwa arah pembangunan Indonesia menuju 2045 adalah ekonomi hijau (green economy). Karena itu, ia menilai penting bagi kebijakan energi mikro seperti LPG untuk petani garam dikaitkan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan dan tanggung jawab sosial.

“Kalau garam diproduksi dengan emisi tinggi, itu bisa ditolak di pasar internasional. Tapi kalau ramah lingkungan dan efisien, justru menaikkan daya saing,” katanya.

Ia juga menekankan bahwa dukungan terhadap garam lokal adalah bentuk nasionalisme ekonomi yang nyata. “Pemerintah harus jadi driver yang mendorong rakyat membeli garam dari negeri sendiri. Politik pangan dan energi ini bukan cuma soal angka produksi, tapi soal harga diri bangsa,” pungkasnya.

 

 

Editor : Enih Nurhaeni

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut