Mahasiswa Kesehatan Meretas Peliknya Rawa Pening, Padi Apung Jadi Harapan Baru
Dua Hasil Panen
Hari yang ditunggu pun tiba, tanaman padi genap berusia 124 hari. Pada Rabu 19 November, mereka bersiaga di dermaga Bukit Cinta, Banyubiru sejak pagi. Bukan untuk berwisata, melainkan menunggu sejumlah pejabat dan rekanan yang akan melakukan panen bersama.
Puluhan pelampung berwarna oranye terlihat menumpuk di sudut dermaga samping tangga menurun menuju perahu. Bukan lagi menggunakan perahu dayung, melainkan perahu motor kapasitas 5-6 orang berderet untuk mengangkut menuju demplot.
Kondisi rawa saat ini berbeda, karena air telah pasang sejak sepekan terakhir. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan membuat mereka memilih menggunakan perahu motor. Pematang sawah dan lahan padi yang membentang dari tanggul hingga tengah rawa telah tertutup air. Kondisi seperti ini menjadi siklus tahunan Rawa Pening ketika curah hujan meningkat.
Saya ikut dalam rombongan perahu paling depan, melihat hamparan rawa terasa lebih luas. Tak lagi terlhat pematang sawah dan hijaunya lahan padi seperti dua pekan silam. Kondisi ini membuat puluhan hektare lahan padi yang baru berumur sekira dua bulan terancam gagal dipanen.
Deru mesin motor meraung-raung membelah tenangnya air rawa. Deretan gunung Telomoyo hingga Merbabu tetap berdiri gagah, dengan bayangan yang memantul di permukaan air.
Dengan wajah berbinar, mereka memanen padi. Sebagaimana saat menanam, mereka mesti menggunakan perahu untuk memotong rumpun padi dan mengangkutnya ke karamba. Sementara untuk memanen ikan relatif mudah, yakni dengan cara menyerok untuk dimasukkan ke ember.
Mereka mendapatkan dua anugerah sekaligus, 65 kilogram ikan yang selama ini berenang lincah di sela batang padi, serta 58 kilogram gabah yang menguning sempurna. Bagi mereka, hasil panen ini bukan sekadar angka, melainkan buah dari ketekunan dan kebersamaan.
Varietas yang digunakan di demplot, Inpara-8, memiliki potensi hasil hingga ~6,0 ton/ha, meski pada lahan rawa produktivitas nyata biasanya berkisar 3,5–4,7 ton/ha tergantung manajemen, kondisi air, dan pemupukan.
Jika dikonversi ke skala hektare, 58 kilogram gabah dari lahan 425 meter persegi setara dengan sekitar 1,37 ton gabah per hektare (≈0,89 ton beras/ha setelah penggilingan). Meski angka ini jauh di bawah potensi varietas yang digunakan, namun dinilai wajar pada fase awal karena teknologi Agrofloat masih dalam tahap adaptasi.
Beberapa faktor yang memengaruhi hasil antara lain kestabilan rakit styrofoam, ketersediaan nutrisi yang belum optimal, fluktuasi ketinggian air, serta tingginya tekanan angin di Rawa Pening yang berpengaruh pada penyerapan unsur hara.
Sementara, produksi 65 kg ikan dari demplot 425 meter persegi setara dengan ±1,53 ton nila per hektare. Angka ini sejalan dengan studi integrated rice–fish (sawah + ikan), rata-rata hasil ikan per hektare biasanya sekitar 485 kg/ha per musim. Bahkan, ada juga studi yang menyatakan hasil 1.500–1.700 kg/ha, tergantung manajemen, jenis ikan, dan kepadatan tebar.

Kombinasi produksi padi dan ikan ini memberi sinyal bahwa konsep Agrofloat bukan hanya berfungsi sebagai mitigasi banjir, tetapi juga membuka peluang peningkatan pendapatan petani. Fase berikutnya akan difokuskan pada optimalisasi pemupukan berbasis uji tanah, perbaikan desain rakit agar lebih stabil, serta peningkatan jumlah petak uji agar data produksi lebih representatif.
“Bayangkan kalau itu bisa dikembangkan,” kata Yuni, matanya berbinar. “Banyubiru bisa menjadi contoh ketahanan pangan berbasis air.”
Selain pertanian, tim Bhumijala juga mulai mengembangkan wirausaha pascapanen. Dari ikan nila hasil panen, mereka melatih Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk membuat nugget ikan. “Kami ingin produk hasil panen tidak berhenti di sawah, tapi menjadi olahan bergizi untuk keluarga.”
Tujuannya lebih besar lagi: pencegahan stunting. “Anak-anak kan sering tidak suka ikan karena durinya. Jadi kami ubah jadi nugget yang lebih aman dan disukai,” katanya sambil tertawa kecil. “Ini cara kami, dari kesehatan, membantu masyarakat lewat pangan.”
Dari sisi lain lahan, saya melihat ibu-ibu dari KWT datang mendekat ke demplot dengan perahu. Salah satunya, Sri Nur Cahyani, tersenyum ramah. “Kami diajak belajar bikin nugget ikan dari hasil nila ini,” katanya. “Biar anak-anak bisa makan ikan tanpa takut duri.”
Ide pemberdayaan KWT itu juga datang dari mahasiswa. Dari hasil panen ikan, mereka membuat pelatihan pengolahan pangan untuk ibu-ibu desa. Produk nugget ikan itu nantinya dijual sebagai usaha rumahan.
Respons masyarakat luar biasa. “Anak-anak kami suka,” kata Nur. “Bahkan mereka pikir itu nugget ayam.” Ia tertawa sambil menunjukkan contoh produk yang dibungkus sederhana.
Editor : Enih Nurhaeni