Mahasiswa Kesehatan Meretas Peliknya Rawa Pening, Padi Apung Jadi Harapan Baru
Menuju Swasembada Pangan
Pemerintah Kabupaten Semarang menyebut Rawa Pening membentang di empat kecamatan yakni Tuntang, Bawen, Banyubiru, dan Ambarawa. Fungsinya sebagai sumber air, irigasi, PLTA, serta ruang hidup masyarakat setempat. Kondisi ekologisnya sudah lama terganggu oleh pertumbuhan gulma air seperti eceng gondok dan akumulasi sedimen.
Pada musim kemarau, luas perairan dapat menyusut hingga sekitar 1.800 hektare, sementara saat musim hujan bisa melebar sampai 2.600 hektare. Dari perubahan elevasi air sekitar 800 hektare itulah lahan yang biasanya dimanfaatkan petani sebagai sawah ketika surut. Namun persoalannya, air kerap naik tiba-tiba saat hujan.
Dinas Pertanian, Peternakan, dan Pangan (Dispertanikap) Kabupaten Semarang menilai, jika model Mina Padi Apung ini berhasil, Rawa Pening bisa menjadi lahan potensial baru. Ada lebih dari 800 hektare area yang dapat dimanfaatkan untuk sistem padi apung dan Mina Padi.
Penyuluh Pertanian Muda Dispertanikap Kabupaten Semarang, Agung Maasabha, menjelaskan bahwa kondisi Rawa Pening sangat dipengaruhi naik-turunnya permukaan air sepanjang musim.
“Kondisionalnya itu naik turun air. Jadi musim hujan, musim kemarau itu naik turun,” ujarnya.
Laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan wilayah Jawa Tengah (termasuk Ambarawa/Banyubiru) mengalami peningkatan curah hujan di musim puncak, hingga mendorong kenaikan muka air Rawa Pening dan memperluas genangan. Bahkan pada 2024 wilayah Jawa Tengah termasuk dalam zona dengan curah hujan tahunan tinggi (>2.500 mm) pada pola normal/normal-tinggi.
“Sering terjadi, petani itu menanam sampai lima kali, tapi yang hasil hanya sekali atau dua kali,” katanya, menggambarkan betapa rentannya tanaman yang terendam sebelum panen.
Ia menyebutkan bahwa petani di sekitar Rawa Pening tersebar di lima kecamatan, yaitu Bawen, Ambarawa, Banyubiru, dan wilayah Kota. Ketika air pasang, petani tidak dapat mengolah sawah sama sekali.
“Iya, enggak bisa. Hanya bisa menunggu surut aja,” ungkapnya.
Hal ini terjadi terutama pada musim hujan, ketika elevasi pintu air Tuntang harus diatur oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana. Rawa Pening menjadi sumber air bagi Demak, Gubug, dan Grobogan, sekaligus mengaliri PLTA Jelok, sehingga tidak bisa serta-merta dibuang seluruhnya.
“Kalau sertamerta dialirkan semua, kejadiannya seperti yang kemarin kita dengar banjir,” jelas Agung. Karena itu, sekali penurunan elevasi harus dihitung matang. “Kemarin menurunkan angka 80 sentimeter saja itu bisa 150 hektare bisa ditanam,” tambahnya.
Di tengah tantangan itu, Agung menilai inovasi Mina Padi apung sebagai harapan baru. Dengan sistem ini, petani tidak lagi sepenuhnya bergantung pada surutnya air. Bahkan, ketika permukaan air naik, rakit tanam bisa digeser lebih ke arah rawa sehingga luas tanam bertambah.
“Kami harapkan ini bisa dikembangkan di lahan pasang surut, jadi bisa nambah (lahan). Baik ketika surut bisa nanam, dan saat naik (pasang) juga tetap bisa nanam. Misalkan yang 800 hektare ini bisa jadi dua (kali tanam),” ujarnya.
Inovasi ini, lanjutnya, sejalan dengan upaya optimalisasi lahan rawa yang juga menjadi bagian dari program nasional. Dengan kemampuan tanam lebih dari sekali, potensi luas tanam bisa meningkat signifikan.
“Bisa 1 kali tanam, bisa jadi 2 atau bisa jadi 3,” katanya. Jika optimal, lahan 800 hektare dapat berlipat hasilnya. “800 hektare bisa 1.600 hektare,” ujar Agung, tergantung seberapa besar area yang akan difokuskan untuk model padi apung.
Jurnal Ilmiah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memaparkan data historis kualitas perairan Rawa Pening. Indeks Trophic State Index (TSI) di berbagai stasiun pengamatan berkisar 57,22–68,06, menunjukkan tingkat eutrofik tinggi. Artinya, perairan kaya nutrisi, mendukung pertumbuhan tanaman air maupun perikanan, tapi memiliki risiko degradasi jika tidak dikelola.
Kepala Dispertanikap Kabupaten Semarang, Moh Edy Sukarno, juga menyebut inovasi ini sebagai proyek percontohan. “Kami akan mendampingi dengan penyuluh di tiap kecamatan,” katanya. “Ini bisa jadi model swasembada pangan di kawasan perairan.”
Rektor Universitas Ngudi Waluyo, Prof. Subiyantoro, menjelaskan bahwa inovasi Padi Mina Apung di kawasan Rawapening lahir dari kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya ketahanan pangan nasional. Ia menegaskan bahwa program tersebut selaras dengan arah pembangunan pemerintah.
“Program Padi Mina Apung di kawasan Rawa Pening ini didasari pada Asta Cita Presiden Prabowo yang salah satunya terkait dengan ketahanan pangan yang memang ini menjadi skala prioritas kita, agar bangsa Indonesia bisa berswasembada pangan,” ujarnya.

Menurutnya, semakin berkurangnya lahan pertanian menjadi dorongan bagi mahasiswa untuk berinovasi. “Ini bentuk inovasi mahasiswa, melihat makin lama makin sedikit lahan pertanian. Maka mahasiswa berinovasi untuk bisa memanfaatkan kawasan Rawa Pening ini jadi kawasan yang bisa berproduksi, bisa mendukung program ketahanan pangan ini,” tambahnya.
Prof. Subiyantoro menegaskan bahwa program tersebut tidak berhenti pada hibah PPK Ormawa semata. “Padi Mina Apung ini menjadi bagian dari kelanjutan proses Tridharma Perguruan Tinggi,” ucapnya.
Ia menyebut bahwa kampus akan terus mengkaji potensi inovasi lanjutan. Namun, karakteristik Rawa Pening yang berbeda-beda harus menjadi perhatian. Program tersebut akan dikembangkan mahasiswa agar dapat diperluas dan diadaptasi.
“Akan kami kaji produk-produk yang terkait, inovasi-inovasi apa lagi yang bisa dilakukan oleh sivitas akademika,” tuturnya.
Melalui kajian tersebut, ia berharap teknologi Mina Padi Apung dapat menyebar lebih luas dan membantu menutup kekurangan lahan pertanian yang terus menyusut. Selain itu, Prof. Subiyantoro mengapresiasi dukungan instansi yang terlibat dalam pendampingan program ini.
“Alhamdulillah tim PPK Ormawa ini bisa berkolaborasi dengan banyak pihak, tentunya dengan Dinas Pertanian Perikanan dan Pangan Kabupaten Semarang yang didukung oleh Balai Pelatihan Penyuluhan Pertanian, serta Pupuk Indonesia,” ungkapnya.
Sejak tahap awal hingga panen, mahasiswa mendapat pendampingan penuh. Ia juga menyampaikan peran aktif Pupuk Indonesia. “Juga dari Pupuk Indonesia yang memberikan support,” ucapnya. Prof. Subiyantoro berharap kerja sama tersebut dapat terus diperkuat.
“Semoga nanti kami tetap bisa berkolaborasi, tim peneliti dari Pupuk Indonesia bisa ikut memberikan penguatan dari inovasi mahasiswa ini,” katanya.
Editor : Enih Nurhaeni